Artikel tatsqif pada kesempatan kali ini membicarakan tentang metode
menafsirkan Al-Quran (Manjah lil Mufassirin). Ingatlah kata mutiara
berikut:
"Sesungguhnya Al-Quran itu akan menjadi hujjah bagimu, atau malah
akan menjadi hujjah terhadapmu ...".
Pada masa kini terdapat banyaknya terjadi penyimpangan kaum muslimin
dalam menafsirkan Al-Quran dikarenakan oleh ketidaktahuan maupun
disebabkan oleh orang yang berkeinginan untuk sengaja merusak Islam,
berbagai tafsir bathil yg disebabkan oleh kesengajaan itu seperti:
Bahwa masjid al-Aqsha dalam QS al-Isra’ adalah berada di langit dan
bukan di Palestina.
Makna Islam diartikan secara arti bahasa saja (aslama = pasrah) dan
tidak dilihat arti secara syar’inya (pasrah untuk taat pada hukum
Allah SWT dan sunnah Nabi SAW).
QS 7:32 diartikan bahwa emas itu halal bagi laki-laki.
Sementara tafsir bathil yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
adalah seperti pemahaman kelompok Jabariyyah yang menafsirkan QS 8/17
dengan tafsiran : bahwa manusia itu bagaikan daun yang hanyut, apakah
menjadi pencuri atau ulama sepenuhnya sudah taqdir Allah, dan kita
hanya menerima saja tanpa mampu mengubahnya.
Kurangnya ilmu dalam menafsirkan al-Qur’an ini sudah terjadi di masa
sepeninggal Nabi SAW. Ibnu Mas’ud ra (salah seorang dari 7 sahabat yg
paling memahami al-Qur’an) pernah ditanya oleh seorang wanita : “Wahai
Ibnu Mas’ud, benarkah anda mengharamkan kami menyambung rambut,
mengikir gigi dan bertattoo?” Maka jawab Ibnu Mas’ud : “Benar, aku
mendengarnya langsung dari Nabi SAW.” Lalu kata wanita itu : “Anda
bohong, karena tidak kutemukan dalam al-Qur’an, dan aku hanya akan
berpegang pada dalil al-Qur’an saja dan tidak pada selainnya!” Jawab
Ibnu Mas’ud : “Bahkan ada larangan tersebut dalam al-Qur’an!” Lalu
beliau membaca QS 59:7, lalu kata wanita itu : “Kamipun tahu ayat itu!
Tapi apa hubungannya?” Jawab Ibnu Mas’ud : “Ketahuilah bahwa ayat itu
memerintahkan kita untuk mengambil apa yang diberikan Rasul SAW dan
menjauhi apa yang dilarangnya. Maka menyambung rambut, mengikir gigi
dan mentattoo itu telah dilarangnya.”
Seorang mu’min yang shadiq maka ia tidak akan membeda-bedakan antara
melaksanakan al-Qur’an dengan melaksanakan sunnah Nabi SAW. Berkata
Imam Syafi’i rahimahullah : “Kullu ma hakama bihi Rasulullah SAW
fahuwa mimma fahmuhu minal Qur’an (Sesungguhnya semua apa yg
ditetapkan oleh Nabi SAW itu adalah merupakan hasil pemahaman beliau
SAW akan al-Qur’an).”
SYARAT BAGI PARA PENAFSIR AL-QUR’AN (SYURUTH LIL MUFASSIRIN)
AQIDAH YG BENAR (Shihhatul I’tiqad).
Kebenaran aqidah merupakan syarat terpenting dan aqidah yang benar
adalah aqidah salafus shalih yang suci dari bid’ah dan khurafat.
Kerusakan dalam aqidah akan mengakibatkan bathilnya penafsiran,
seperti:
Kaum Syi’ah menafsirkan QS 25:27, bahwa si zhalim dalam ayat tersebut
adalah Abubakar dan teman dekat dalam ayat tersebut adalah Umar.
Na’udzubillah!
Kaum Ahmadiyyah menafsirkan QS 61/6, bhw Ahmad yg dimaksud adalah
bukan nabi Muhammad SAW, tapi Mirza Ghulam Ahmad dari Lahore pimpinan
jemaat Ahmadiyyah.
TERLEPAS DARI HAWA NAFSU (At Tajarrudu ‘anil Hawa).
Seorang yang akan menafsirkan al-Qur’an harus terbebas dari hawa
nafsunya saat menafsirkan, sebab jika tidak maka penafsirannya akan
dipengaruhi oleh nafsunya sendiri dan tidak mendapatkan taufiq dari
Allah SWT. Ingatlah bahwa Iblis la’natullah tidak mengajak Adam as
untuk menolak larangan Allah melainkan menafsirkannya dengan hawa
nafsunya, dengan menambahkan tafsir perintah Allah dengan pendapatnya
sendiri yaitu bahwa Allah melarang memakan buah tersebut supaya Adam
tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi makhluk yang abadi... (QS
7/20). Beberapa syahwat yang harus dihindari saat menafsirkan
al-Qur’an adalah:
Syahwat ingin popularitas (syahwatun nasyath), ingin disebut sebagai
pandai atau alim, sehingga berani menafsir dan berfatwa menurut
pemahamannya sendiri.
Syahwat perut (syahwatul buthun), supaya bisa makan dari ayat-ayat
tersebut, maka tafsirnya disesuaikan dengan pemesannya agar amplopnya
lebih tebal.
Syahwat ingin kedudukan dan jabatan (syahwatur riyasyah), ingin
mendapatkan jabatan dan kesenangan duniawi.
MEMANDANG AL-QUR’AN SECARA UTUH DAN TDK PARSIAL (An nazhratul
kulliyyah la juz’iyyah)
Tidak boleh menafsirkan al-Qur’an menurut satu kata/kalimatnya saja,
melainkan harus dikaitkan dengan konteks al-Qur’an secara keseluruhan,
dikaitkan dengan ayat-ayat lainnya, hadits-hadits yang berhubungan,
dsb. Sebagai contoh Abubakar ra pernah salah menafsirkan ayat QS 6/82,
ia berkata pada Nabi SAW : “Ya Rasulullah! Siapakah yang sanggup untuk
tidak berbuat zhalim walau sedikit?” Maka dikoreksi oleh Nabi SAW :
“Maksud ayat tsb adalah zhalim syirik, tidakkah kalian membaca ayat QS
31/13?”
Menafsirkan ayat harus melihat sisi bahasa (lughawiy) juga pengertian
syari’ahnya (syar’iy). Seperti bahwa arti dari Islam bukan hanya
pasrah pada kebenaran, melainkan pasrah pada kebenaran yang datang
dari Allah SWT dan melaksanakannya.
MELIHAT DARI TUJUAN POKOK AL-QUR’AN (Al-Ihtimam bil ahdafil asasi).
Dr al-Khalidi dlm kitabnya Mafatihu li Ta’ammul ma’al Qur’an
menyatakan bahwa tujuan pokok dari al-Qur’an ialah:
Memberikan hidayah pada manusia, artinya al-Qur’an dipelajari dan
difahami bukan untuk islamologi semata tapi untuk dilaksanakan dalam
kehidupan keseharian.
Membentuk kepribadian yang Islami, artinya dengan memahami al-Qur’an
maka setiap pembacanya harus berusaha untuk menyesuaikan dirinya
dengan al-Qur’an, sehingga saat Aisyah ra ditanya tentang akhlaq Nabi
SAW, maka dijawabnya : Akhlaq beliau adalah al-Qur’an.
Membentuk masyarakat yg Islami, maksudnya bahwa penerapan hukum
al-Qur’an tersebut bukan cukup hanya pada skala pribadi, melainkan
harus diterapkan juga pada skala masyarakat keseluruhan, sehingga
sebagaimana para sahabat ra, mereka menjadi generasi qur’ani, generasi
yang dicelup oleh nilai-nilai al-Qur’an.
MEMASUKI AL-QUR’AN TANPA MENETAPKAN DULU BERBAGAI PRAKONSEPSI YANG TDK
ISLAMI (Dukhulul qur’an dunal muqarrarat as sabiqah).
Contohnya:
Seorang budayawan menafsirkan dengan menggunakan prakonsepsi yang
dipelajarinya bahwa jilbab dan jenggot adalah budaya Arab dan tidak
sesuai dengan budaya Indonesia.
Seorang komunis akan mencari ayat-ayat yang mendukung bahwa Islam
membela kelompok miskin dan membenci orang kaya, dsb.
Lihatlah seorang sahabt yang telah tua renta Abu Thalhah (saat usianya
telah 90 th), ketika turun ayat QS 9/41 (Berangkatlah kalian untuk
berjihad baik ringan maupun berat...), maka segera ia menyiapkan
perbekalan. Saat anak-anaknya berkata bahwa ia telah tua dan tidak
wajib lagi berjihad, maka jawabnya: Khifafan wa tsiqalan, syabban wa
syaikhan .. (Berangkatlah baik ringan atau berat, tua atau muda, kaya
atau miskin... ringan itu untuk kalian, berat itu untukku, semuanya
harus berangkat ke medan perang...), maka anak-anaknyapun terdiam.
MENGIKUTI MANHAJ SALAFUS SHALIH (Ittiba’ul manhaj salafus shalih).
Manhaj salafus shalih dalam menafsirkan al-Qur’an adalah sbb:
Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (Tafsirul qur’an bil qur’an),
yaitu mengumpulkan semua ayat yang berkaitan baru kemudian
menafsirkannya.
Menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Tafsirul qur’an bis sunnah),
karena manusia yang paling tahu tentang makna al-Qur’an adalah
Rasulullah SAW.
Menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat sahabat ra (Tafsirul qur’an bi
aqwali shahabah), karena merekalah yang paling intens berinteraksi
dengan al-Qur’an, simaklah perkataan Ibnu Mas’ud : “Tidaklah satu
ayatpun dari Kitabullah kecuali aku mengetahui tentang apa ayat itu
diturunkan dan kapan ia diturunkan, pada siang hari atau malam hari,
di musim panas atau di musim dingin. Dan jika ada orang lain yang
lebih mengetahui dari aku, maka akan segera kupacu kudaku untuk
belajar padanya.”
MENGUASAI ILMU-ILMU AL-QUR’AN (Ma’rifatul ‘ulumil qur’an), yaitu
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan:
Mana ayat yang bersifat umum dan mana yang khusus (aam wal khash).
Sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul).
Mana ayat yang menghapus dan mana yang dihapus (nasikh wal mansukh).
MENGUASAI BAHASA ARAB (Ma’rifatul lughah ‘arabiyyah).
Berkata Mujahid ra : La yahillu li ahadin yu’minu billahi wal yaumil
akhiri an yatakallama fi kitabillah idz lam yakun ‘aliman bi lighah al
‘arabiyyah (Tidak halal bagi seorang yang beriman pada Allah dan hari
akhir untuk berbicara tentang makna Kitabullah, jika ia tidak memahami
bahasa Arab). Ibnu Abbas ra (salah seorang dari 7 orang sahabat yang
paling ahli al-Qur’an) membagi tafsir menjadi sbb:
Yang dapat diketahui maknanya cukup dari bahasa saja (artinya dengan
membaca terjemah saja sudah cukup).
Yang berkaitan dengan hukum, maka harus dikaitkan dengan ayat-ayat dan
hadits-hadits hukum. Dan ini berat, karena jika salah maka berdosa.
Yang diketahui tafsirnya oleh para ulama, yaitu tentang berbagai
hukum-hukum yang rumit istinbath hukumnya, membutuhkan pengetahuan
yang luas serta pengalaman yg banyak.
Yang hanya diketahui tafsirnya oleh Allah SWT saja, seperti ayat-ayat
mutasyabihat, hakikat sifat-sifat Allah, alam malakut, alam barzakh,
dsb.
KEFAHAMAN YG MENDALAM (Diqqatul fahmi).
Contohnya adalah sbb:
Asy Syahid Sayyid Quthb saat menafsirkan QS 37/102 menuliskan : Inilah
sifat seorang jundullah sejati, cukup dengan kata-kata saya bermimpi
menyembelihmu, maka seorang jundi segera menangkap maksud sang qiyadah
serta segera melaksanakan (fawriyyatul istijabah) tanpa perlu
ditegaskan dengan bahasa perintah (qarar) lagi. Demikianlah seorang
mujahid, jika ia membaca ayat dari RABB-nya “hendaklah kamu” atau
“Allah menyukai”, maka ia akan segera berkata : Aku dengar dan aku
taat wahai Pemilikku, dan ia melaksanakannya dg segera, dan tidaklah
hal yang demikian ini mampu dilakukan kecuali oleh seorang yang
memiliki diqqatul fahmi (memiliki kefahaman yg mendalam...)
Selanjutnya asy Syahid Sayyid Quthb menguraikan tafsir ayat QS
2:124-125 sbb:
Huruf “fa” pada kata “fa atammahunna” dalam bahasa Arab mensyaratkan
penyegeraan dalam pelaksanaan.
Kata “atamma” bermakna walaupun dikerjakan dengan cepat, tetapi
sempurna/tidak asal-asalan (ihsanul ‘amal).
Kata “hunna” (artinya semuanya), menunjukkan menyeluruhnya dalam
ketaatan tersebut, artinya tidak taat hanya pada bagian yang
disukainya saja (syumuliyyatut tha’ah).
Maka setelah ketiga sifat tersebut ada pada diri Ibrahim, maka
layaklah ia mendapatkan penghargaan tertinggi yang disebutkan pada
ayat selanjutnya yaitu: AKU akan menjadikan kamu sebagai Imam bagi
seluruh manusia .. (QS 2/125). Artinya seorang yang telah memiliki
ketiga sifat tersebut telah layaklah ia menjadi seorang pemimpin
ummat, yang akan sanggup mengemban amanah khalifatullah fil ‘ardhi...
Allahummaj’alil qur’ana rabi’a qulubina, wa nura shudurina ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar